Konteks Zina, Tuduhan Zina Dan Zina Di Paksa

Konteks Zina

Dalam aturan fiqih pertimbangan dalam menilai zina, tuduhan zina dan zina yang dipaksa adalah melihat kepada dua aspek. Yaitu aspek legal dan aspek ada atau tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Dua aspek ini menjadi acuan penting.

Aspek legal memiliki tiga konteks, yaitu pernikahan, kumpul bersama budak wanita dan relasi seks antara pemilik dan budaknya. Namun dikarenakan dua konteks yang terakhir ini telah tiada atau dihapuskan maka menyisakan satu konteks legal, yaitu pernikahan.

Definisi Zina

Zina dapat didefinisikan dengan senggama yang dilakukan diluar konteks legal dengan adanya persetujuan kedua belah pihak. Dan hukuman bagi pelaku zina adalah hadd, karena zina termasuk dalam pelanggaran hak-hak Ketuhanan (Haqqullah).

Sedangkan laki-laki dan perempuan yang tidak berada dalam konteks hubungan legal, dan tidak ada persetujuan dari perempuan untuk senggama, dalam aturan fiqih dihukumi dengan "Istikrah ala al-Zina" (Zina yang dipaksa). Jadi pada prinsipnya pendefinisian istikrah 'ala al-Zina itu tetap merujuk kepada dua aspek di atas. Termasuk pula dalam klasifikasi ini adalah segala bentuk kekerasan seksual, mulai dari perkosaan dan berbagai kekerasan fisik lainnya. Dan soal hukuman, pelaku kekerasan dalam Istikrah zina dikenai dua hukuman; pertama ganti rugi kepada korban, dan kedua hukuman hadd karena dia telah melakukan zina. Korban dalam hal ini harus dilindungi dan diberi ganti rugi.


Baca Juga : Profil Nurul Assalammy Konten Kreator Tiktok Cover Sholawat


Disamping itu perbuatan zina yang berangkat dari sebuah tuduhan, maka untuk menjustifikasinya, para ulama fiqih memberikan persyaratan penting, yaitu harus melalui empat saksi mata berintegritas tinggi yang melihat secara langsung bahwa ada penis yang memasuki vagina.


Dan bilamana tuduhannya tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka disebut sebagai "Qadzaf" (tuduhan zina). Dan si penuduhnya harus dihukum secara hadd juga. Dikarenakan bisa dihukum hanya jika saksi-saksi memenuhi persyaratan di atas. Maka dalam konteks kehidupan bermasyarakat, razia di hotel-hotel dan kos-kosan tidaklah memenuhi syarat-syarat kesaksian, dan itu dapat digolongkan sebagai Qadzaf. Dengan kata lain justru mereka yang melakukan razia zinalah yang harus dihukum secara hadd.

Selama anda tidak melihat hubungan organ intim secara langsung, dan selama integritas moral anda sendiri sebagai 'saksi' tidak terbukti baik, maka Anda lah yang harus dihukum.

Lalu bagaimana dengan senggama yang dilakukan dalam konteks legal? tapi tidak ada persetujuan dari kedua belah pihak khususnya pihak wanita? Atau dalam bahasa sekarang perkosaan dalam pernikahan?. Dalam fiqih klasik kita tidak akan menemukan permasalahan ini. Karena sebagaimana kita ketahui fiqih yang masih digunakan hingga saat ini adalah produk hukum suatu era dimana perempuan secara literal merupakan anggota masyarakat kelas dua.

Namun sekarang zaman sudah berubah dan fiqih pun dituntut harus menjawab setiap permasalahan yang muncul sesuai dengan konteks di era sekarang. Karena pada prinsipnya fiqih itu dinamis. Fiqih memiliki mekanisme untuk menjawab tantangan zaman melalui Ijtihad, bahtsul masa'il, qiyas, dan sebagainya. Tanpa sedikit pun mengurangi prinsip-prinsip pesan dalam Al-Quran dan hadits. Disinilah fiqih berevolusi.

highlight Hemat saya, evolusi fikih untuk melindungi perempuan dalam konteks domestik harus dilakukan karena hal itu merupakan prinsip Qur'ani juga, yaitu prinsip saling menyayangi dan melindungi. Dalam beberapa hadits juga disebutkan mengenai tindakan Nabi SAW yang melindungi perempuan-perempuan yang menjadi korban KDRT. Bahkan dalam satu hadits, Nabi SAW mengizinkan seorang perempuan untuk bercerai dari suaminya karena pernikahannya dilakukan tidak atas kehendak sang perempuan.

Bahkan, istri mengajukan gugatan cerai terkadang demi menyelamatkan jiwa dan harga dirinya yang sudah terabaikan. Dalam kasus KDRT misalnya, agar keselamatan dirinya terjaga, sikap yang paling tepat adalah mengakhiri hubungan itu dengan perceraian.

Dalam hal ini Muhammad Abu Zahrah melalui kitabnya al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, halaman 347, memberikan terminologi yang lebih tepat bagi cerai gugat yaitu at-tafriq bi hukmi al-qadhi. Lebih singkatnya dapat disebut sebagai tafriq atau at-tathliq yang dimaknai sama oleh sayyid sabiq.

Next Post Previous Post